« s e m u t «
Langit memerah, menyambut senja yang mulai hadir. Semua koloni semut bersiap berkumpul memenuhi undangan rapat yang sudah disiarkan sejak fajar. Dengan membopong banyak bahan makanan menyambut datangnya musim kemarau, mereka bersemangat memenuhi cekungan datar nan luas. Sudah hal yang biasa, jika mereka harus menghadiri rapat seperti ini. Apalagi, mengingat kondisi kota yang tak karuan, sangatlah wajar jika tiap sore mereka harus meluangkan sedikit waktu tidur atau waktu makan mereka untuk membuka telinga, mata, dan otak untuk mengikuti rapat ini.
Lonceng tua mulai diperdengarkan, tanda rapat segera dimulai. Cekungan datar mulai ramai, penuh dengan ratusan semut. Tanah cekung membuat banyak kubangan disekitarnya, memang tidak dalam. Tapi, cukup membuat kesal jika harus mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan kaki yang termakan lumpur liar. Awalnya, kubangan itu tidak ada. Namun, kondisi kota sekarang inilah membuat kubangan-kubangan kecil itu muncul. Serangan dari kota sebrang seakan tak puas dengan kondisi tanah yang sudah rusak. Mereka seakan terus-menerus membombardir kota semut-semut itu tinggal dan meneruskan kehidupannya. Semut-semut juga sudah mulai gelisah. Bagaimana nasib mereka esok hari. Jangankan untuk esok hari, bahkan sehabis pulang rapat ini saja mereka tidak tahu, apakah mereka masih selamat dan akan merasakan makanan yang mereka buru sejak pagi. Mereka pasrah
Tetua semut, membuka rapat dengan suara lantang, selantang ukuran lansia pada umumnya. Namun begitu, ia tetap dihargai dan dihormati. Tak ada rasa keraguan jika suatu keputusan dibuat oleh sang tetua. Pemuda semut, semut dewasa akan setuju tentang apa keputusan semut tetua. Ia bak presiden kota itu. Tapi, baru kali ini dia membuka rapat dengan wajah yang sangat murung dengan suara yang semakin mengecil dan serak. Tak terdengar hingga ujung cekungan datar itu. Beberapa semut juga masih mengurusi kaki mereka yang terlahap lumpur. Sebagian dari mereka membantu temannya naik dengan mengandalkan patahan ranting pohon di sekitarnya.
" baik semua, ijinkan saya berbicara sebentar. Ada hal penting yang harus saya sampaikan pada Anda sekalian menyangkut keberlangsungan kota tercinta ini" buka sang Tetua
" melihat keadaan kota yang semakin semrawut dan tak terkendali, saya memerintahkan kepada semua semut betina dan bayi semut betina agar segera pindah ke kota sebrang tanah merah ini. Kota milik adik saya. Kota itu sangat jauh dari keramaian kota. Saya harap semua semut betina membawa perbekalan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama kurang lebih satu minggu. sedang, semut jantan dan semua pemuda semut tetap disini bersama saya. Kita hadapi semua serangan dari kota sebrang jalan itu. Saya mau, semua dalam keadaan selamat. Saya tidak ingin ada pertumpahan darah disini. Tidak boleh ada semut yang mati, baik dari kawan kita atau bahkan lawan kita sekalipun. Saya ingin, perselisihan kota kita dengan kota sebrang jalan selesai dan segera damai dengan jalan yang benar dan baik. Sekarang, semua bubar. Terimakasih" tambahnya panjang.
Mendengar perintah sang Tetua, semua semut segera meninggalkan tempat pertemuan rapat itu. Semua semut betina membawa bayi bayi semutnya untuk meninggalkan kota yang taktau masa depannya akan seperti apa. Sambil membawa semua perbekalan yang cukup dan hanya seadanya dari hasil perburuan suaminya, beberapa hari belakangan ini, mereka berlari dengan kecepatan yang super sambil membawa beban di hati mereka, menahan rasa sedih meninggalkan suami dan anak lelakinya yang harus menjaga kota ini, hingga kota layak mereka tempati lagi. Ribuan meter mereka lewati untuk sampai di kota sebrang. Gundukan tanah merah yang amat tinggi, berhasil mereka lewati dalam waktu setengah hari walau terasa nyeri sekali kaki dan punggung mereka. Mereka tak perduli. Yang penting mereka dan anak-anak mereka selamat. Minimal untuk beberapa hari kedepan. Hidup mereka akan lebih terjamin daripada mereka harus berdiam diri di kota mereka sendiri. Mereka akan lebih aman disini. Walau masih ada kekhawatiran, tentang bagaimana suami mereka. Bagaimana anak laki-laki mereka. Bagaimana mereka esok hari. Apakah mereka semua akan selamat. Apakah kota mereka akan segera pulih seperti semula. Lalu, bagaimana jika ternyata kota itu justru semakin semrawut. Semakin hancur. Semakin tak terkendali. Semua pertanyaan itu membayang di otak mereka. Tak ada lagi harapan selain, semuanya kembali seperti keadaan semula. Semua kembali aman. Semua kembali seperti apa yang mereka rasakan dua bulan lalu. Semua berjalan indah seperti skenario sebuah film. Hampir tak ada konflik sebelumnya. Hanya itu yang mereka minta. Hanya itu hajat mereka pada Tuhan.
Sementara, di kota. Semua pemuda dan semut jantan menemui Tetua semut di kediamannya. Tak jauh dari cekungan datar tempat biasa digelar rapat perundingan. Kali ini mereka kembali menyerahkan semua tenaga, pikiran, bahkan nyawa untuk kota mereka itu. Para pemuda bersemangat dan bertekad serta teguh bahwa kota ini akan kembali seperti sedia kala.
" terimakasih bagi kalian semua yang rela mengorbankan diri kalian untuk kota ini. Disini, kita sama sama berjuang. Sama sama ingin kota ini kembali menjadi kota damai nan nyaman ditempati. Sama sama ingin menyudahi semua kesemrawutan yang terjadi. Sekali lagi. Yang perlu diingat adalah, saya ingin kota ini damai kembali dengan cara yang damai pula. Tidak ada rasa dendam. Percuma kota kita kembali, tapi ada dendam di hati. Saya mohon sekali pada para pemuda untuk ikut serta dan berperan aktif daripada kami para semut yang sudah berumur. Harapan kita ada pada kalian. Kami tidak ingin ada lagi catatan kejadian seperti seminggu lalu. Saya tidak ingin ada semut yang tewas. Saya ingin semua warga saya selamat dan senang. Termasuk kalian" ucap Tetua semut
" tapi bagaimana cara kita menyelamatkan kota kita ini. Serangan dari kota sebelah sangat kuat. Mereka menyusup sebagai warga semut kota ini. Mereka mengadu domba teman-teman kami yang tewas kemarin. Mereka termakan omongan dusta para penjajah itu" ucap salah satu pemuda semut dengan nada sangat semangat
" untuk itulah, kami berharap pada kalian. Berbagai cara perdamaian sudah saya dan kawan-kawan semut lakukan untuk menyelesaikan konflik yang satu ini. Mereka tetap kukuh. Mereka ingin tanah kita. Mereka ingin kota kita. Saya harap kalian semua bisa memikirkan semua solusi ini dengan kepala dingin. Saya dan kawan-kawan menyerah untuk memikirkan solusi apa lagi yang akan saya gunakan agar konflik ini berakhir. Kami akan kerahkan semua kemampuan yang tersisa dalam diri kami untuk membantu kalian. Ingat. Selesaikan dengan kepala dingin" jawab Tetua semut menasihati
Mendengar perintah menantang itu, pemuda semut sangat excited. Dengan semangat, mereka seakan menyanggupi permainan ini. Untuk pertama kalinya mereka melakukan hal penting dan berwibawa semacam ini. Untuk menyambut perintah Tetua itu, pemuda semut mengadakan rapat kecil di salah satu rumah minimalis. Mereka menunjuk salah satu di antara mereka menjadi ketua untuk mengatur segala rencana yang akan mereka realisasikan di lapangan. Tak lupa, mereka juga menunjuk dua ekor semut lain, untuk menjadi wakil, membantu sang ketua. Ketua mereka gagah, berbadan besar, dan dikenal sebagai seekor semut yang ambisius dan punya sifat terpuji lainnya.
Fanov, namanya. Ia memiliki jiwa pemimpin yang baik. Ia disegani anggota-anggotanya. Semua tunduk akan perintahnya. Namun demikian, karena mereka sebaya, mereka sering cekcok satu sama lain. Tapi dengan jiwa rela berkorban mereka, solusi dan jalan tengah akan mereka ambil dengan kepala dingin. Tak perlu ada kekerasan di dalamnya. Dalam menyusun rencana itu, Fanov dan kedua wakilnya, San dan Ko, memiliki strategi perlawanan yang terencana. Mereka menyatukan semua pemuda. Mereka membimbing semua pemuda semut agar bersatu untuk melawan penjajah dari kota seberang. Fanov tak ingin, kejadian satu minggu lalu, dimana mereka semua diadu domba terulang kembali. Untuk mengikat semua pemuda semut itu, Fanov mengeluarkan sebuah ikrar persatuan. Bunyinya " Tak ada perdamaian tanpa persatuan". Ikrar singkat itu berhasil menyatukan semua pemuda semut. Berbagai perlawanan internal dari penjajah kota sebrang berhasil mereka tangkis dengan semboyan itu. Mereka percaya, dengan bersatu mereka pasti bisa.
Melihat persatuan para pemuda, tetua semut dan semut jantan lainnya senang. Mereka tak menyangka bahwa anak-anak mereka, pemuda-pemuda mereka, berhasil mengambil suatu langkah yang briliant. Merasa persatuan di kota itu semakin terpupuk dan berakar, penjajah kota sebrang semakin geram. Mereka mulai melakukan serangan. Mereka mulai mengultimatum kota itu. Tapi, para pemuda kukuh pendirian. Mereka tak mau termakan omongan penjajah kota sebrang yang justru membelah dan menghancurkan mereka. Mereka kembali pada tujuan awal mereka. Mereka ingin keluarga mereka kembali tinggal di tanah mereka sendiri dengan tenang, tanpa gangguan penjajah kota sebrang yang kejam.
Berbagai perlawanan dari kota sebrang berhasil mereka hadapi dengan semboyan dan ikrar mereka yang singkat namun berarti. Mereka menjalankan amanah Tetua semut, selesaikan dengan kepala dingin. Tak ada semut yang tewas. Mereka semua kompak. Kota tercinta mereka berangsur-angsur membaik. Penjajah kota sebrang seakan mulai lelah dengan keadaan pemuda yang semakin menyatu. Mereka menyatakan perdamaian dan meminta maaf atas segala gangguan yang terjadi dua bulan terakhir ini. Mereka menyerah.
Mendengar pernyataan itu, pemuda semakin bergembira. impian mereka untuk kembali berkumpul dengan Ibu mereka atau Adik-adik kecil mereka akan segera terwujud. Dengan segala pengorbanan dan perjuangan yang mereka lakukan, kota mereka kembali aman. Semut betina yang mengungsi di kota sebrang tanah merah akan kembali, setelah Tetua mamastikan keadaan kota akan aman hingga esok fajar.
Lonceng tua yang sudah lama tak hinggap di telinga, kembali terdengar, tanda rapat dimulai. Seperti biasa, semua semut akan bergegas berkumpul di cekungan datar. Namun kali ini, cekungan datar itu hanya terisi sebagian saja. tak penuh.
" terimakasih saya ucapkan kepada semua pemuda semut yang berhasil mengerahkan sekuat tenaga, pikiran, dan apa yang kalian punya demi terciptanya keamanan di kota ini. Saya sangat salut terhadap persatuan kalian. Ikrar yang kalian ucapkan bersama seakan melekat dalam hati dan pikiran kalian. Itulah yang saya harapkan pada kalian semua. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih. Dan setelah ini, silahkan kalian semua menjemput family kalian di kota sebrang Tanah merah. saya rasa mereka juga akan turut bangga dan senang mendengar berita baik ini. Maaf saya tidak bisa berkorban banyak untuk kota ini. Saya harap tidak ada lagi kejadian seperti ini. Dan saya juga ingin, semangat persatuan harus tetap mengakar Dan melekat dalam diri kalian." Sambutan Tetua diikuti sorak soray para hadirin yang hadir pada rapat itu dengan diiringi suara tepuk tangan yang meriah layaknya sehabis menonton pertunjukan yang sangat dramatis dan alur yang indah.
Seperti perintah Tetua, mereka langsung menjemput family mereka. Jarak antar kota mereka dengan tanah merah yang cukup jauh, seakan tak terasa saking senangnya. Mereka bangga dengan kerja tim mereka. Mereka bangga dengan persatuan yang mereka bangun. Mereka bangga, mereka bisa menyelamatkan semua sanak saudara dan kerabat mereka. Sekali lagi, dengan kepala yang dingin, dan tanpa kekerasan.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar